Senin, 04 Februari 2013

Seniman Keris

Bilah keris adalah hasil karya seniman pembuatnya. Jika keris itu tergolong adikarya (masterpiece), maka seniman pembuatnya diberi gelar empu. Tetapi keris selain terdiri atas bilahnya, juga harus dilengkapi dengan berbagai perabot yang terdiri atas: warangka, ukiran, mendak, selut, dan pendok. Masing-masing bagian itu juga dibuat oleh para seniman.


Dalam dunia perkerisan, riwayat para empu hampir selalu merupakan kisah yang menarik, dan merupakan legenda yang dituturkan turun menurun. Berikut ini adalah kisah empu-empu ternama dalam sejarah perkerisan di Pulau Jawa.


EMPU PANGERAN SEDAYU
Menurut cerita rakyat, di masa mudanya bernama Supa Mandrangi. Karena ketekunannya, ia menjadi empu yang mahir. Keris-keris buatannya selalu indah dan disukai banyak orang. Karena itu Supa Mandrangi dan adiknya yang bernama Supagati berniat untuk mengabdi pada Keraton Majapahit.


Kebetulan sewaktu ia datang ke keraton, saat itu Majapahit sedang geger. Pusaka kerajaan yang bernama Kanjeng Kyai Sumelang Gandring hilang dari tempat penyimpanannya di Gedong Pusaka. Ki Supa Mandrangi lalu dipanggil menghadap raja. Sang Raja bertitah, jika Empu Supa sanggup menemukan kembali keris Kanjeng Kyai Sumelang Gandring, maka raja akan berkenan menerima pengabdiannya di Keraton Majapahit, dan akan dianugerahi berbagai macam hadiah.


Ki Supa menyatakan kesanggupannya.


Setelah memohon petunjuk Tuhan, empu muda itu bersama adiknya berjalan ke arah timur, sesuai dengan firasat yang diterimanya. Selama dalam perjalanan Ki Supa menggunakan nama Empu Rambang. Nama ‘rambang’ berasal dari kata ‘ngelambrang’ yang artinya berjalan tanpa tujuan yang pasti. Beberapa bulan kemudian sampailai ia di Kadipaten Blambangan. (Sumber lain menyebutkan, sebelum Ki Supa alias Ki Rambang sampai di Blambangan, lebih dulu ia mampir ke Madura untuk menuntut ilmu pada empu Ki Kasa. Tetapi sumber yang lain lagi mengatakan bahwa Ki Kasa juga merupakan nama samaran atau nama alias Ki Supa).


Di Kadipaten Blambangan, lebih dahulu Ki Supa Mandrangi menjumpai Ki Luwuk, empu senior yang menjadi kesayangan Sang Adipati Menak Dadali Putih. Berkat jasa baik Ki Luwuk, akhirnya Ki Supa bisa diterima menghadap adipati itu. Pada saat itu Ki Supa mengaku bernama Pitrang, dan menyatakan ingin mengabdi pada Sang Adipati. 


Ketika beberapa waktu kemudian Adipati Blambangan tahu hasil kerjanya, ia menyuruh Ki Pitrang membuat putran (duplikat) sebilah keris lurus yang indah. Setelah mengamati keris yang harus dibuatkan duplikatnya itu, Ki Pitrang segera tahu bahwa itulah keris Kanjeng Kyai Sumelang Gandring yang hilang dari Kerajaan Majapahit.


Ki Pitrang alias Ki Supa menyanggupi membuat putran keris itu dalam waktu 40 hari, dengan satu syarat, yaitu agar selama ia membuat keris putran itu, tidak seorang pun boleh memasuki besalen -nya. Adipati Blambangan menyanggupi syarat itu, bahkan ia akan menempatkan beberapa prajurit di sekitar besalen empu Pitrang, agar jangan ada orang yang masuk mengganggu kerjanya.


Di besalen-nya, Ki Supa bekerja hanya dibantu oleh adiknya, Ki Supagati, yang bertindak sebagai panjak-nya. Dalam waktu 40 hari itu Ki Supa bukan membuat sebilah, melainkan dua bilah keris putran, yang bentuk dan rupanya sama benar dengan keris Kanjeng Kyai Sumelang Gandring.


Setelah pekerjaan itu selesai, KK Sumelang Gandring yang aseli disembunyikan di balik kain di paha kirinya. Sedangkan kedua keris putran yang dibuatnya dibahwa menghadap Adipati Blambangan, dan diakukan sebagai keris yang putran dan yang aseli.


Karena sama bagusnya, sama indahnya, Adipati Blambangan tidak bisa lagi membedakan kedua keris itu. Mana yang aseli, dan mana yang putran. Padahal sebenarnya kedua keris itu merupakan keris putran.

Adipati Dadali Putih amat gembira melihat hasil karya Empu Pitrang. Karenanya, empu muda itu lalu dinikahkan dengan salah seorang adik perempuannya, dan diberi banyak hadiah.


Beberapa bulan kemudian Empu Pitrang berpamitan hendak pulang ke Majapahit. Ia berpesan pada istrinya yang sudah hamil, agar jika anaknya lahir kelak, jika laki-laki, agar diberi nama Jaka Sura. Setelah cukup besar, agar anak itu disuruh menyusulnya ke Majapahit. (Baca juga Jaka Sura, Empu).


Betapa gembira Raja Majapahit ketika ternyata Ki Supa berhasil menemukan dan mengembalikan keris pusaka keraton, Kanjeng Kyai Sumelang Gandring. Karena dianggap berjasa besar bagi kerajaan, Empu Ki Supa Mandrangi kemudian dinikahkan dengan salah seorang putrinya dan diangkat menjadi pangeran, serta diberi tanah perdikan (bebas pajak, otonom) di daerah Sedayu. Maka sejak itu Ki Supa lebih dikenal sebagai Empu Pangeran Sedayu. Itu pula sebabnya, mengapa keris buatan Ki Supa hampir serupa dengan keris buatan Pangeran Sedayu.


Walaupun telah hidup mulia sebagai pangeran dan kaya raya berkat kedududkannya sebagai penguasa tanah perdikan, Pangeran Sedayu masih tetap membuat keris. Bahkan keris buatannya makin indah, makin anggun.


Adapun keris buatan Pangeran Sedayu dapat ditandai dengan mengamati ciri-ciri sebagai berikut:


Ganjanya datar atau ganja wuwung, gulu meled-nya berukuran sedang, tetapi penampilannya memberi kesan kekar dan kokoh. Buntut cecak-nya berbentuk ambuntut urang atau mekrok. Jika membuat keris luk, maka loknya tergolong luk yang rengkol, atau sarpa lumampah.


Posisi bilah pada ganja agak tunduk, tidak berkesan galak, tetapi anggun berwibawa. Kembang kacang-nya dibuat ramping nggelung wayang. Sogokan-nya agak melengkung di bagian ujung, menyerupai paruh burung. Janur-nya serupa lidi. Tikel alis-nya tergurat jelas. Begitu pula ron da-nya juga dibuat jelas.


Keris buatan Pangeran Sedayu selalu matang tempaan, besinya berwarna hitam kebiruan, nyabak, dan berkesan basah. Pamornya lumer pandes dan hampir selalu merupakan pamor tiban. Bahkan terkadang tanpa pamor sama sekali, yakni yang disebut keris kelengan. Besi keris tangguh Pangeran Sedayu ini demikian prima, tahan karat, bahkan banyak di antaranya cukup diwarangi lima tahun sekali.


Secara keseluruhan penampilan keris buatan Pangeran Sedayu membawakan karakter seorang ksatria yang anggun, berwibawa, tetapi tidak galak, wingit, tetapi menyenangkan.


Pendek kata, segalanya dibuat serasi. Seluruh bagian keris termasuk ricikan-nya digarap dengan cermat, rapi, ayu, dan sempurna. Begitu rapinya keris buatan Pangeran Sedayu, sampai sampai tepi bagian sogokan-nya berkesan tajam. Oleh kebanyakan pecinta keris, buatan Pangeran Sedayu dianggap sebagai keris yang paling sempurna dari semua keris yang ada.


Salah satu tanda yang mencolok dari keris buatan Empu Pangeran Sedayu adalah besinya yang selalu merupakan jenis pilihan, dan matang wasuhan.


Selain tetap berkarya sebagai empu, Pangeran Sedayu juga mendidik orang-orang di daerahnya yang berminat belajar menjadi empu. Mula-mula mereka dijadikan panjak, dan setelah mahir disuruh membuat keris sendiri. Akhirnya para panjak itu pun dapat mandiri bekerja sebagai empu. Hasil karya mereka oleh orang yang hidup masa kini disebut keris Panjak Sedayu, yang kualitasnya hampir menyamai keris buatan Pangeran Sedayu.

JAKA SURA   Disebut pula Empu Adipati Jenu, sebuah wilayah dekat Jipang di daerah perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Timur. Ia diperkirakan hidup menjelang akhir zaman Majapahit.


Keris buatannya dapat ditandai dengan memperhatikan ciri-ciri sebagai berikut :


Ganjanya rata, gulu meled-nya sempit, sirah cecak-nya lonjong. Kalalu membuat kembang kacang bentuknya kokoh bagaikan kuku bima, blumbangan-nya dalam, guratan tikel alis-nya jelas, sogokan-nya panjang, janurnya meruncing di ujungnya. Kalau Empu Jaka Sura membuat ron da, bentuknya jelas dan runcing ujungnya.


Bilah keris buatan Empu Jaka Sura agak tebal, penampilannya meyakinkan. Kalau membuat pamor ruwet (muyeg - Bhs. Jawa). Secara keseluruhan keris buatan Empu Jaka Sura menampilkan karakter berwibawa, terampil, gagah, dan meyakinkan.



Kakak Jaka Supa

Jaka Sura sesungguhnya adalah kakak tiri Empu Jaka Supa, sedangkan ayahnya bernama Supa Mandrangi yang kemudian dikenal sebagai Pangeran Sedayu. Ia lahir di Blambangan, ibunya adalah putri bangsawan kerabat Adipati Blambangan.


Ketika menjelang remaja, Jaka Sura bertanya pada ibunya, siapa dan dimana ayahnya. Si ibu mengatakan, ayah Jaka Sura adalah seorang empu yang pernah mengabdi pada Kadipaten Blambangan. Sebelum Jaka Sura lahir, sang Ayah harus kembali ke Majapahit. Sebelum pergi sang Ayah berpesan, agar jika anak yang lahir nanti laki-laki, diberi nama Jaka Sura. Dan, kalau anak itu sudah dewasa, agar pergi menyusulnya ke Majapahit.


Sesudah mendengar penjelasan dari ibunya, Jaka Sura lalu belajar membuat keris. Ia banyak sekali membuat keris sajen - yang biasanya dibutuhkan oleh para petani masa itu untuk sesaji sawahnya. Keris sajen dalam jumlah besar itulah yang dibawanya sebagai bekal perjalanan ke Majapahit. Agar lebih mudah membawanya, keris sajen yang ukurannya cuma sejengkal itu dilubangi pesi-nya, seperti lubang jarum jahit tangan. Pada lubang itu dimasukkan tali. Cara ini, menurut bahasa Jawa disebut direntengi.


Sepanjang perjalanan dari Blambangan ke Majapahit, ia banyak bertanya pada petani yang dijumpainya, manakah arah jalan menuju Majapahit. Sebagai terima kasih atas bantuannya menunjukkan arah, ia menghadiahkan keris sajen buatannya pada para petani itu.


Dulu, para petani umumnya percaya, tuah keris sajen karya Empu Jaka Sura ini berkhasiat untuk menyuburkan tanaman dan menangkal serangan hama tanaman. Bahkan sampai sekarang (akhir abad ke-20) sebagian petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur masih mempercayai hal tersebut.


Menjelang sampai di Ibukota Majapahit, Jaka Sura menghentikan perjalanannya untuk membuat sebilah pedang. Rencananya pedang itu akan dijadikan buah tangan untuk ayahnya, agar ayahnya tahu bahwa ia juga mewarisi bakat menjadi empu.


Sesampainya di Majapahit Jaka Sura ternyata ditolak ketika hendak masuk ke keraton. Penjelasan yang diberikan oleh empu muda itu tidak dihiraukan oleh para prajurit penjaga pintu gerbang. Karena kesal Jaka Sura lalu menghantamkan pedang buatannya pada pintu gerbang itu sehingga pecah berantakan. Keributan itu menyebabkan Raja Majapahit keluar dan menanyakan apa yang terjadi.


Sesudah mendengar laporan dari prajurit penjaga dan juga dari Jakasura, raja itu memberi tahu bahwa ayahnya telah diangkat menjadi Pangeran, dan tinggal di daerah Sedayu. Setelah mendapat penjelasan itu Jaka Sura lalu mohon diri dan segera berangkat ke Sedayu. Sang Raja juga menugasi Empu Salahita sebagai penunjuk jalan.


Pedang yang ditinggalkan Jaka Sura kemudian dijadikan pusaka Kerajaan Majapahit, dan diberi nama Kanjeng Kyai Lawang. Kata lawang artinya pintu, karena mengingat bahwa kesaktian pedang itu telah menghancurkan pintu gerbang Majapahit. Kini, Kyai Lawang menjadi salah satu pusaka Keraton Kasunanan Surakarta.


Sesampainya di Sedayu, Empu Salahita langsung membawa Jaka Sura ke besalen (bengkel kerja) milik Pangeran Sedayu, bukan ke rumahnya, karena mengira sang pangeran sedang berada di besalen-nya. Waktu itu di besalen itu para panjak sedang ramai bekerja di bawah pimpinan Empu Ki Jebat, karena Pangeran Sedayu sedang melakukan tapa brata.


Setelah Jaka Sura diperkenalkan dengan Ki Jebat, tangan kanan Pangeran Sedayu itu bercerita bahwa sang pangeran saat itu sedang gundah hatinya. Soalnya, Pangeran Sedayu mendapat perintah dari raja untuk membuat keris dapur baru yang akan digunakan sebagai pusaka andalan Majapahit, karena pusaka yang terdahulu, yaitu Kanjeng Kyai Sumelang Gandring, pernah dicuri oleh Adipati Blambangan.


Sudah berhari-hari Pangeran Sedayu melakukan tapa brata, tetapi bentuk dapur keris yang baru itu belum juga terbayangkan.


Setelah mendengar penjelasan Ki Jebat, Jaka Sura segera mengeluarkan besi sisa peninggalan ayahnya ketika di Blambangan dulu. Besi sisa itu lalu dibakarnya di perapen, dan kemudian ditempanya. Tanpa lelah ia terus bekerja, sehingga akhirnya jadilah sebuah keris dengan dapur baru yang indah. Semua orang yang menyaksikan di besalen itu kagum.


Ki Jebat lalu bertanya pada Jaka Sura, dapur apakah keris yang baru dibuatnya itu. Jaka Sura mengatakan, tidak tahu karena ia hanya bekerja berdasarkan ilham yang muncul tiba-tiba saat itu. Setelah menyerahkan keris itu pada Ki Jebat, Jaka Sura lalu pergi ke kali untuk membersihkan diri.


Sementara itu Pangeran Sedayu datang ke besalen dengan wajah muram. Ia masih merasa sedih karena belum juga mendapat ilham mengenai dapur keris yang akan dibuat. Saat itulah Ki Jebat memperlihatkan keris buatan Jaka Sura.


Betapa gembira hati Pangeran Sedayu melihat keris yang indah itu. Ia bertambah gembira lagi ketika tahu bahwa yang membuatnya adalah Jaka Sura, anaknya sendiri, yang lahir setelah ia meninggalkan Blambangan.


Pangeran Sedayu yakin, Sang Raja tentu akan berkenan menerima keris indah itu sebagai pusaka keraton. Karena itu ia segera mengajak anaknya menghadap raja di Keraton Majapahit.


Benarlah dugaan Pangeran Sedayu. Raja amat senang dengan keris itu, tetapi juga bingung ketika Pangeran Sedayu dan Jaka Sura memintakan nama bagi dapur keris baru itu. Akhirnya, setelah berpikir sejenak, raja menamakan dapur keris itu: Kanjeng Kyai Sengkelat.


Nama Sengkelat berasal dari kata ‘sengkel’ yang artinya bingung dan kesal karena kehabisan akal. Saat itu raja Majapahit memang sedang kehabisan akal untuk mencarikan nama dapur yang merupakan perpaduan antara keris dapur Carita dengan dapur Parung itu.


Pangeran Sedayu lalu membawanya menghadap raja, untuk memohon agar Jaka Sura diperkenankan mengabdi pada kerajaan. Permohonan dikabulkan, dan karena keris-keris hasil karyanya memuaskan raja, beberapa tahun kemudian Jaka Sura dianugerahi tanah perdikan, yaitu tanah bebas pajak, di daerah Jenu. Selain itu Jaka Sura juga diangkat sebagai adipati di daerah itu. Maka, Jaka Sura kemudian lebih dikenal sebagai Empu Adipati Jenu.


Banyak penggemar keris yang mengira bahwa hasil karya Empu Jaka Sura hanya berupa keris sajen. Padahal keris sajen itu hanyalah keris yang dibuat untuk petani guna keperluan sesaji sawah mereka.





Empu Ki Jigja


Terkenal sebagai salah seorang empu pada zaman Kerajaan Majapahit. Ia adalah anak dari Empu Singkir alias Empu Angga, empu terkenal dari Pajajaran. Adiknya, Ki Empu Surawisesa juga menjadi empu, tetapi tidak bekerja bagi Kerajaan Majapahit, melainkan untuk Kadipaten Blambangan. Menurut buku-buku kuno, jari jempol tangan kirinya berwujud kepala ular.
Keris buatannya tidak banyak, tetapi semuanya merupakan keris indah dan sakti.
Tanda-tanda keris buatan Empu Jigja adalah, panjang bilahnya sedang (menurut ukuran rata-rata keris tangguh Majapahit), tetapi menampilkan kesan kekar, namun luwes. Sogokan dan blumbangan-nya dalam, kembang kacang-nya kokoh. Greneng atau ri pandan keris buatannya jelas dan relatif besar.
Kadang-kadang, kalau membuat kembang kacang Empu Jigja 'berani' keluar dari pakem. Beberapa keris yang menurut pakem memakai kembang kacang biasa, oleh Empu Jigja dibuat kembang kacang pogok. Walaupun demikian, keris yang seperti itu tetap saja manis dan serasi.
Besi keris buatan Empu Jigja ada dua macam. Yang pertama besi itu berkesan kering dan madas. Warna besi itu hijau kecoklatan (serupa tlethong, warna tahi kerbau). Jenis besi ini amat sukar termakan karat. Dan, bilamana diputihkan, dibersihkan sebelum diwarangi, besi keris yang kehijauan itu berbau ramuan rempah wangi jamu.
Sedangkan jenis besi yang kedua yang digunakan Empu Jigja adalah yang berwarna hitam ngelar glatik, Nglugutnglugut, pamornya ngawat ngembang bakung.





Empu Modin


Adalah nama lain dari Empu Bekeljati, adalah seorang empu dari daerah Tuban yang hidup pada akhir zaman Majapahit.
Keris hasil karyanya berukuran sedang panjangnya, tetapi agak tebal dan lebar. Dibandingkan dengan keris tangguh Tuban lainnya, karya empu Modin lebih tunduk ke depan. Besinya tampak keras dan kenyal, berwarna keabu-abuan, memberi kesan 'mentah'. Pamor yang sering digunakan adalah Wos Wutah dan Ngulit Semangka.
Keris buatan Empu Modin kebanyakan merupakan keris lurus, dengan dapur Tilam Upih atau Brojol. Kalau membuat keris luk, maka luknya kemba. Kesan penampilan keris itu keras dan lugas.





Pengikut Sunan Bonang Tentang mengapa Empu Bekeljati kemudian lebih populer dengan sebutan Empu Modin, manuskrip Serat Pratelan Bab Duwung yang ditulis R. Moestopo Pringgohardjo pada tahun 1961, menyebutkan:
Pada saat Empu Bekeljati berkarya, agama Islam baru mulai berkembang di daerah tempat tinggalnya. Yang menjadi pemimpin mesjid Tuban di kala itu adalah Sunan Bonang, yang bukan hanya dikenal sebagai ulama, juga sebagai orang yang memiliki banyak kesaktian.
Empu Bekeljati yang semula beragama Hindu, kemudian menjadi salah seorang pengikut dan murid Sunan Bonang. Karena ketekunannya mempelajari agama, Empu Bekeljati menjadi kesayangan gurunya. Dan, karena lantang suaranya, dan fasih lafalnya, Sunan Bonang lalu menugasi Empu Bekeljati menjadi mua'zin atau penyeru azan. Dalam logat Jawa, kata mua'zin sering diucapkan mua'din, dan lama kelamaan menjadi modin. Begitulah, sejak saat itu Bekeljati lebih dikenal dengan sebutan Empu Modin.
Bagi mereka yang percaya akan tuah, keris buatan Empu Modin dikenal sebagai keris yang memiliki angsar sabar, pemaaf, membuat pemiliknya menjadi luwes dalam pergaulan dan disayang orang sekelilingnya. Selain itu, keris karya Empu Modin juga bisa diharapkan mempermudah pemiliknya mencari rejeki.
Walaupun dibuat orang yang sama, ketika masih dikenal sebagai Empu Bekeljati, keris buatannya lebih ramping dibandingkan sewaktu ia sudah dikenal dengan panggilan Empu Modin. Selain itu, keris Empu Bekeljati tampilan pamornya lebih mubyar. Jika keris itu memakai luk, maka luknya agak tanggung dan samar (kemba - Jw.). Kembang kacang-nya mungil, agak kecil dibandingkan dengan ukuran bilahnya. Sogokan-nya dangkal dan pendek. Bagian janur-nya dibuat tumpul.




KI NOM, EMPU, seorang empu yang terkenal pada zaman Agung Hanyokrokusumo di Mataram. Beberapa orang tua ahli keris menceritakan bahwa usia Ki Nom memang panjang sekali. Kata mereka, nama Ki Nom atau Pangeran Warih Anom, atau Ki Supo Anom justru adalah gelar dan nama pemberian Sultan Agung sebagai pernyataan kekaguman terhadap panjangnya umur empu yang terkenal awet muda itu.


Konon, umur Empu Ki Nom lebih dari 100 tahun. Jika cerita-cerita mengenai dirinya benat, angka 100 itu masuk akal, karena Ki Nom dilahirkan pada menjelang akhir zaman Majapahit, jadi kira kira tahun 1520 an. Padahal, tatkala Sultan Agung Anyokrokusumo mempersiapkan penyerangan ke Batavia tahu 1626, Ki Nom masih mendapat tugas sebagai salah seorang empu tindih, yang membawahkan 80 orang empu lainnya. Berarti pada saat itu umurnya sudah 104 tahun!


Empu Supo Anom, yang nama kecilnya Jaka Supa sebenarnya adalah anak dari Ki Supa Mandrangi atau Pangeran Sedayu, yang hidup pada akhir zaman Majapahit. Ibunya adalah putri kerabat kraton yang ‘dihadiahkan’ kepada Empu Supa Mandrangi ketika pembuat keris terkenal itu diangkat sebagai pangeran dengan gelar Pangeran Sedayu. (Ada cerita rakyat yang menyebutkan bahwa putri keraton itu bernama Dewi Tatiban). Kakaknya, satu ayah lain ibu, bernama Jaka Sura, juga seorang empu terkenal. Oleh raja Majapahit terakhir Empu Jaka Sura diangkat menjadi adipati di daerah Jenu, sehingga juga dikenal sebagai Empu Adipati Jenu.


Ki Nom sebenarnya hanya singkatan nama atau panggilan bagi Empu Pangeran Warih Anom yang menguasai tanah perdikan (otonomi & bebas pajak) di daerah Sendang. Itulah sebabnya ia juga dipanggil dengan gelar Pangeran Sendang.


Tanda-tanda utama buatan empu Ki Nom adalah: Keris dan tombak buatan Ki Nom selain indah selalu mempunyai penampilan dan yang memberi kesan agung, anggun, mewah, berwibawa.


Ganja buatan Ki Nom, kebanyakan merupakan ganja wilut dan kelap lintah. Sirah cecak-nya montok dan meruncing ujungnya, gulu meled-nya besar dan kokoh. Ukuran panjang bilahnya sedang, lebarnya juga sedang, tetapi tebalnya lebih dibanding keris buatan Mataram lainnya, terutama dibagian tengah bilah. Bilah buatan Ki Nom selalu berbentuk nggigir lembu. Motif pamornya biasanya rumit, halus, dan rapat serta rapi sekali penempatannya. Besi yang digunakan, dua rupa. Bagian tengah yang bercampur pamor warna besinya hitam keabu-abuan atau hitam keungu-unguan, tetapi dibagian pinggir hitam legam.


Bagian kembang kacang-nya dibuat seperti gelung wayang, tetapi berkesan kokoh, dan kalau diamati dari sisi atas akan tampak ramping. Jalen-nya kecil, lambe gajah-nya pendek. Blumbangan-nya dangkal, penuh dengan pamor. Sogokan-nya juga dangkal dan menyempit ke arah ujung. Janur-nya menyerupai batang lidi.


Salah satu keris adikarya hasil tempaan Ki Nom yang masih dapat disaksikan hingga saat ini adalah keris berdapur Singa Barong yang dijadikan cenderamata lambang persahabatan antara Kasultanan Mataram dengan Kesultanan Jambi. Keris itu bernama Si Ginje, dan saat ini tersimpan di Museum Pusat di Jakarta.

 Seniman Keris Masa Kini




Empu DJENO HARUMBRODJO (1927 - ) Dari daerah Yogyakarta. dikenal sebagai seorang empu yang masih teguh mempertahankan kaidah-kaidah pembuatan keris secara tradisional, termasuk tata upacara, sesaji, dan tapabratanya. Sering kali ia berpuasa atau tidak tidur sampai berhari-hari, dalam melaksanakan pembuatan keris-kerisnya. Keindahan karyanya menyebabkan ia tiga kali mendapat kepercayaan membuat keris pusaka bagi Keraton Kasultanan Yogyakarta, dengan menggunakan bahan pamor Prambanan. Atas pesanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, antara lain Empu Djeno membuat keris dapur Jangkung Mangkunegoro, dengan pamor Udan Mas. Empu Djeno Harumbrodjo [Jënå Harumbråjå] adalah anak keenam Kyai Empu Supowinangun, seorang abdidalem empu keris Kepatihan Yogyakarta. Pendidikannya sampai Schakelschool Kanisius, tahun 1944. Sejak umur 15 tahun ia sering membantu ayahnya membuat tosan aji, termasuk keris. Tahun 1970 ia mulai merintis kembali pembuatan keris si Desa Jitar, yang telah terhenti sejak zaman pendudukan balatentara Jepang. Dengan menggunakan peralatan peninggalan ayahnya, bersama dua orang saudaraya, yakni Yosopangarso dan Genyodihardjo, ia melakukan percobaan-percobaan pembuatan keris. Soalnya, ayah mereka tidak pernah mengajarkan secara khusus teknik pembuatan keris. Percobaan itu berhasil! Nama Djeno kemudian dikenal di dunia internasional, setelah kedatangan Dietrich Drescher, kapten kapal bangsa Jerman yang memesan keris kepadanya, dan menunggui pembuatannya sampai selesai. Drescher guru pada empu Djeno. Tahun 1977 Djeno Harumbrodjo pindah ke Desa Gatak, Kelurahan Sumberagung, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Letaknya sekitar 10 kilometer ke arah barat, dari kota Yogyakarta. Di tempatnya yang baru ini ia mendirikan besalen-nya dan membuat sendiri berbagai rupa peralatan kerjanya. Seperti tradisi yang dianut ayahnya, empu Djeno selalu mengadakan selamatan dan sesaji pada saat akan menggarap kerisnya, ketika akan menyepuh, dan mewarangi. Ia pun berpuasa, serta tidak tidur pada hari-hari tertentu. Bentuk keris buatannya mengambil pola tangguh Mataraman, tetapi lebih ramping, singset, dan trengginas, sehingga agak mirip dengan keris tangguh Majapahit. Ia menguasai berbagai teknik pembuatan pamor, baik pamor miring, maupun pamor mlumah. Dan, karena apik garapannya, empu Djeno tidak pernah sepi dari pesanan. Berkali-kali ia mengadakan pameran. Tahun 1977 pameran di Sumberagung, kemudian di Universitas Gajahmada tahun 1980. Pameran di Alun-alun Lor Yogyakarta (1981), hampir tiap tahun sejak 1985 di Keraton Yogyakarta, dan di Institut Teknik Bandung pada September 1999. Empu Jeno yang tetap membujang hingga tahun 2000 ini, pernah mengadakan ceramah di depan Proyek Javanologi di Museum Sonobudoyo, Yogyakarta, tahun 1983. Berkat pengabdiannya di bidang seni budaya keris, ia mendapat Anugerah Seni dari Pemda DI Yogyakarta tahun 1985 dan beberapa penghargaan lainnya. Di kalangan penggemar keris, Empu Djeno mendapat penghargaan tinggi, bukan hanya karena keris-keris buatannya indah, juga karena keturunan Empu Supa Anom itu masih tetap mau menempa dengan cara dan tata upacara tradisional.


Empu Djeno Harumbrojo








EMPU PAUZAN PUSPOSUKADGO
Dari daerah Surakarta masih aktif membuat keris pada akhir adab ke-20. Selain membuat keris, tombak, dan tosan aji lainnya, pada dekade 1980-an Empu Pauzan juga menjadi dosen luar biasa dalam bidang pembuatan keris di Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta, yang kini menjadi Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta. Empu Pauzan lahir di Desa Grinting, Boyolali, Jawa Tengah pada 1941. Pendidikannya hanya sampai kelas II Sekolah Teknik Negeri jurusan Bangnan. Setelah ini selama bertahun-tahun ia menjadi montir dan kemudian menjadi sopir bis malam. Perhatiannya terhadap dunia perkerisan mulai timbul sejak tahun 1971. Ia menjadi anggota Boworoso Tosan Aji Surakarta, dan banyak mendapat bimbingan dari K.R.T. Hardjonagoro, seorang budayawan kolektor keris di Surakarta. Tahun 1982 ia mulai belajar membuat keris sendiri, dengan membuat besalen di halaman rumahnya. Dengan modal tekad dan rajin bertanya, keris buatannya makin lama makin baik. Dari Keraton Kasunanan Surakarta empu Pauzan mendapat pangkat Mantri Anon-anon Tosan Aji, dengan sebutan Mas Ngabehi Pusposukadgo. Sekitar tahun 1984 Empu Pauzan membuat pamor kreasi baru yang berdasarkan rekayasa Dietrich Dresser. Pamor itu dinamakan Poleng Wengkon. Pauzan menerapkannya pada sebuah keris berdapur Gumbeng. Oleh Jenderal Purnawirawan Soerono keris dapur Gumbeng berpamor Poleng Wengkon itu diberi nama Kyai Surengkarya, yang artinye pekerja keras atau pekerja tekun. Keris-keris dan tosan aji karya Pauzan pernah dipamerkan di ASKI (1983), Sasana Mulya Surakarta (1984), Monumen Pers Surakarta (1985) dan Pusat Keris Jakarta serta Anjungan Jawa Tengah Taman Mini Inidonesia Indah (1986). Empu Pauzan yang beralamat di Kampung Yosoroto RT 01 RW 09 bo 82, ini memiliki beberapa tanda penghargaan, antara lain dari Menko Bidang Politik dan Keamanan Jenderal Soerono (1981), dan Seminar PATA. Sejak tahun 1982 ia menjabat sebagai anggota Presidium Pangreh Boworoso Tosan Aji Surakarta. Sebagai dosen ASKI, murid-muridnya yang menonjol antara lain Yantono, Subandi, dan Suyanto.


Diambil dari
(c) M M I I,  Java Keris.com

Tidak ada komentar: