Sebenarnya
tidak ada pedoman yang jitu untuk memilih keris yang baik. Sebab setiap
orang, mau tidak mau, akan dipengaruhi oleh subnyektifitas pribadinya
dalam memilih sesuatu, termasuk keris. Dulu, di Pulau Jawa nenek moyang
kita memberikan pedoman bahwa keris yang baik harus memenuhi kriteria
sepuh, tangguh, wutuh. Tua umurnya, jelas tangguh-nya, dan utuh
barangnya.
Karena criteria ala Jawa itu sulit difahami teman-teman pecinta keris yang non Jawa, pada tahun 1982 saya membuat kriteria baru yang saya harapkan lebih mudah dimengerti, yakni Indah, Tua, Utuh, disingkat ITU. Maksudnya, keris yang baik harus indah, tua, dan utuh. Tetapi karena sadar bahwa dalam memilih keris seseorang akan dipengaruhi subyektifitasnya, maka sejak tahun 1996 saya mengatakan bahwa kritetia Indah, Tua, Utuh dapat dan boleh dibolak-balik sesuai dengan selera orang yang akan memilih keris itu. Jadi, kriteria itu dapat menjadi Utuh, Tua, Indah, atau Indah, Utuh, Tua, bisa juga Indah, Utuh, Tua.
Yang memakai kriteria ITU, biasanya lebih mementingkan keindahan keris. Soal ketuaannya nomor dua, sedangkan keutuhannya nomor terakhir. Yang penting indah dulu, soal tua dan utuhnya prioritas berikutnya.
Yang suka memakai kriteria UTI, biasanya menomorsatukan utuhnya keris. Soal tua dan keindahannya urusan belakang.
Demikian pula mereka yang menggunakan kriteria IUT, UIT, TUI, atau TIU, masing-masing memiliki prioritasnya sendiri.
Karena perbedaaan kriteria itulah maka dalam pergaulan sesama pecinta keris kita melihat adanya teman yang suka mengkoleksi keris-keris nom-noman yang dibuat setelah zaman Paku Buwono IV atau zaman Hamengkubuwono I. Ada pula yang suka mengkoleksi keris-keris tua, walaupun tidak lagi utuh.
Yang jelas, kita semua harus menghormati selera orang lain. Kita tidak boleh mencela selera orang.
Yang harus kita sayangkan adalah kalau untuk mengejar "ketuaan" keris maka orang itu lalu mengeroposkan keris dengan merendam di larutan tertentu; atau untuk mengejar keutuhannya lalu mengikir atau menggerinda bilah keris.
Karena criteria ala Jawa itu sulit difahami teman-teman pecinta keris yang non Jawa, pada tahun 1982 saya membuat kriteria baru yang saya harapkan lebih mudah dimengerti, yakni Indah, Tua, Utuh, disingkat ITU. Maksudnya, keris yang baik harus indah, tua, dan utuh. Tetapi karena sadar bahwa dalam memilih keris seseorang akan dipengaruhi subyektifitasnya, maka sejak tahun 1996 saya mengatakan bahwa kritetia Indah, Tua, Utuh dapat dan boleh dibolak-balik sesuai dengan selera orang yang akan memilih keris itu. Jadi, kriteria itu dapat menjadi Utuh, Tua, Indah, atau Indah, Utuh, Tua, bisa juga Indah, Utuh, Tua.
Yang memakai kriteria ITU, biasanya lebih mementingkan keindahan keris. Soal ketuaannya nomor dua, sedangkan keutuhannya nomor terakhir. Yang penting indah dulu, soal tua dan utuhnya prioritas berikutnya.
Yang suka memakai kriteria UTI, biasanya menomorsatukan utuhnya keris. Soal tua dan keindahannya urusan belakang.
Demikian pula mereka yang menggunakan kriteria IUT, UIT, TUI, atau TIU, masing-masing memiliki prioritasnya sendiri.
Karena perbedaaan kriteria itulah maka dalam pergaulan sesama pecinta keris kita melihat adanya teman yang suka mengkoleksi keris-keris nom-noman yang dibuat setelah zaman Paku Buwono IV atau zaman Hamengkubuwono I. Ada pula yang suka mengkoleksi keris-keris tua, walaupun tidak lagi utuh.
Yang jelas, kita semua harus menghormati selera orang lain. Kita tidak boleh mencela selera orang.
Yang harus kita sayangkan adalah kalau untuk mengejar "ketuaan" keris maka orang itu lalu mengeroposkan keris dengan merendam di larutan tertentu; atau untuk mengejar keutuhannya lalu mengikir atau menggerinda bilah keris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar