Bilah
keris adalah hasil karya seniman pembuatnya. Jika keris itu tergolong
adikarya (masterpiece), maka seniman pembuatnya diberi gelar
empu. Tetapi keris selain terdiri atas bilahnya, juga harus dilengkapi
dengan berbagai perabot yang terdiri atas: warangka, ukiran,
mendak, selut, dan pendok. Masing-masing bagian itu juga
dibuat oleh para seniman.
Dalam
dunia perkerisan, riwayat para empu hampir selalu merupakan kisah yang
menarik, dan merupakan legenda yang dituturkan turun menurun. Berikut
ini adalah kisah empu-empu ternama dalam sejarah perkerisan di Pulau
Jawa.
EMPU
PANGERAN SEDAYU
Menurut cerita rakyat, di masa mudanya bernama Supa Mandrangi. Karena ketekunannya, ia menjadi empu yang mahir. Keris-keris buatannya selalu indah dan disukai banyak orang. Karena itu Supa Mandrangi dan adiknya yang bernama Supagati berniat untuk mengabdi pada Keraton Majapahit.
Menurut cerita rakyat, di masa mudanya bernama Supa Mandrangi. Karena ketekunannya, ia menjadi empu yang mahir. Keris-keris buatannya selalu indah dan disukai banyak orang. Karena itu Supa Mandrangi dan adiknya yang bernama Supagati berniat untuk mengabdi pada Keraton Majapahit.
Kebetulan
sewaktu ia datang ke keraton, saat itu Majapahit sedang geger. Pusaka
kerajaan yang bernama Kanjeng Kyai Sumelang Gandring hilang dari tempat
penyimpanannya di Gedong Pusaka. Ki Supa Mandrangi lalu dipanggil
menghadap raja. Sang Raja bertitah, jika Empu Supa sanggup menemukan
kembali keris Kanjeng Kyai Sumelang Gandring, maka raja akan berkenan
menerima pengabdiannya di Keraton Majapahit, dan akan dianugerahi
berbagai macam hadiah.
Ki
Supa menyatakan kesanggupannya.
Setelah
memohon petunjuk Tuhan, empu muda itu bersama adiknya berjalan ke arah
timur, sesuai dengan firasat yang diterimanya. Selama dalam perjalanan
Ki Supa menggunakan nama Empu Rambang. Nama ‘rambang’ berasal dari
kata ‘ngelambrang’ yang artinya berjalan tanpa tujuan yang
pasti. Beberapa bulan kemudian sampailai ia di Kadipaten Blambangan.
(Sumber lain menyebutkan, sebelum Ki Supa alias Ki Rambang sampai di
Blambangan, lebih dulu ia mampir ke Madura untuk menuntut ilmu pada empu
Ki Kasa. Tetapi sumber yang lain lagi mengatakan bahwa Ki Kasa juga
merupakan nama samaran atau nama alias Ki Supa).
Di
Kadipaten Blambangan, lebih dahulu Ki Supa Mandrangi menjumpai Ki Luwuk,
empu senior yang menjadi kesayangan Sang Adipati Menak Dadali Putih.
Berkat jasa baik Ki Luwuk, akhirnya Ki Supa bisa diterima menghadap
adipati itu. Pada saat itu Ki Supa mengaku bernama Pitrang, dan
menyatakan ingin mengabdi pada Sang Adipati.
Ketika
beberapa waktu kemudian Adipati Blambangan tahu hasil kerjanya, ia
menyuruh Ki Pitrang membuat putran (duplikat) sebilah keris lurus
yang indah. Setelah mengamati keris yang harus dibuatkan duplikatnya
itu, Ki Pitrang segera tahu bahwa itulah keris Kanjeng Kyai Sumelang
Gandring yang hilang dari Kerajaan Majapahit.
Ki
Pitrang alias Ki Supa menyanggupi membuat putran keris itu dalam
waktu 40 hari, dengan satu syarat, yaitu agar selama ia membuat keris putran
itu, tidak seorang pun boleh memasuki besalen -nya. Adipati
Blambangan menyanggupi syarat itu, bahkan ia akan menempatkan beberapa
prajurit di sekitar besalen empu Pitrang, agar jangan ada orang
yang masuk mengganggu kerjanya.
Di
besalen-nya, Ki Supa bekerja hanya dibantu oleh adiknya, Ki
Supagati, yang bertindak sebagai panjak-nya. Dalam waktu 40 hari
itu Ki Supa bukan membuat sebilah, melainkan dua bilah keris putran,
yang bentuk dan rupanya sama benar dengan keris Kanjeng Kyai Sumelang
Gandring.
Setelah
pekerjaan itu selesai, KK Sumelang Gandring yang aseli disembunyikan di
balik kain di paha kirinya. Sedangkan kedua keris putran yang
dibuatnya dibahwa menghadap Adipati Blambangan, dan diakukan sebagai
keris yang putran dan yang aseli.
Karena
sama bagusnya, sama indahnya, Adipati Blambangan tidak bisa lagi
membedakan kedua keris itu. Mana yang aseli, dan mana yang putran.
Padahal sebenarnya kedua keris itu merupakan keris putran.
Adipati
Dadali Putih amat gembira melihat hasil karya Empu Pitrang. Karenanya,
empu muda itu lalu dinikahkan dengan salah seorang adik perempuannya,
dan diberi banyak hadiah.
Beberapa
bulan kemudian Empu Pitrang berpamitan hendak pulang ke Majapahit. Ia
berpesan pada istrinya yang sudah hamil, agar jika anaknya lahir kelak,
jika laki-laki, agar diberi nama Jaka Sura. Setelah cukup besar, agar
anak itu disuruh menyusulnya ke Majapahit. (Baca juga Jaka
Sura, Empu).
Betapa
gembira Raja Majapahit ketika ternyata Ki Supa berhasil menemukan dan
mengembalikan keris pusaka keraton, Kanjeng Kyai Sumelang Gandring.
Karena dianggap berjasa besar bagi kerajaan, Empu Ki Supa Mandrangi
kemudian dinikahkan dengan salah seorang putrinya dan diangkat menjadi
pangeran, serta diberi tanah perdikan (bebas pajak, otonom) di daerah
Sedayu. Maka sejak itu Ki Supa lebih dikenal sebagai Empu Pangeran
Sedayu. Itu pula sebabnya, mengapa keris buatan Ki Supa hampir serupa
dengan keris buatan Pangeran Sedayu.
Walaupun
telah hidup mulia sebagai pangeran dan kaya raya berkat kedududkannya
sebagai penguasa tanah perdikan, Pangeran Sedayu masih tetap membuat
keris. Bahkan keris buatannya makin indah, makin anggun.
Adapun
keris buatan Pangeran Sedayu dapat ditandai dengan mengamati ciri-ciri
sebagai berikut:
Ganjanya
datar atau ganja wuwung, gulu meled-nya berukuran sedang, tetapi
penampilannya memberi kesan kekar dan kokoh. Buntut cecak-nya
berbentuk ambuntut urang atau mekrok. Jika membuat keris
luk, maka loknya tergolong luk yang rengkol, atau sarpa
lumampah.
Posisi
bilah pada ganja agak tunduk, tidak berkesan galak, tetapi anggun
berwibawa. Kembang kacang-nya dibuat ramping nggelung wayang.
Sogokan-nya agak melengkung di bagian ujung, menyerupai paruh
burung. Janur-nya serupa lidi. Tikel alis-nya tergurat
jelas. Begitu pula ron da-nya juga dibuat jelas.
Keris
buatan Pangeran Sedayu selalu matang tempaan, besinya berwarna hitam
kebiruan, nyabak, dan berkesan basah. Pamornya lumer pandes dan
hampir selalu merupakan pamor tiban. Bahkan terkadang tanpa pamor
sama sekali, yakni yang disebut keris kelengan. Besi keris
tangguh Pangeran Sedayu ini demikian prima, tahan karat, bahkan
banyak di antaranya cukup diwarangi lima tahun sekali.
Secara
keseluruhan penampilan keris buatan Pangeran Sedayu membawakan karakter
seorang ksatria yang anggun, berwibawa, tetapi tidak galak, wingit,
tetapi menyenangkan.
Pendek
kata, segalanya dibuat serasi. Seluruh bagian keris termasuk ricikan-nya
digarap dengan cermat, rapi, ayu, dan sempurna. Begitu rapinya keris
buatan Pangeran Sedayu, sampai sampai tepi bagian sogokan-nya
berkesan tajam. Oleh kebanyakan pecinta keris, buatan Pangeran Sedayu
dianggap sebagai keris yang paling sempurna dari semua keris yang ada.
Salah
satu tanda yang mencolok dari keris buatan Empu Pangeran Sedayu adalah
besinya yang selalu merupakan jenis pilihan, dan matang wasuhan.
Selain
tetap berkarya sebagai empu, Pangeran Sedayu juga mendidik orang-orang
di daerahnya yang berminat belajar menjadi empu. Mula-mula mereka
dijadikan panjak, dan setelah mahir disuruh membuat keris
sendiri. Akhirnya para panjak itu pun dapat mandiri bekerja
sebagai empu. Hasil karya mereka oleh orang yang hidup masa kini disebut
keris Panjak Sedayu, yang kualitasnya hampir menyamai keris
buatan Pangeran Sedayu.
JAKA SURA
Disebut pula Empu
Adipati Jenu, sebuah wilayah dekat Jipang di daerah perbatasan Jawa
Tengah dengan Jawa Timur. Ia diperkirakan hidup menjelang akhir zaman
Majapahit.
Keris buatannya dapat ditandai
dengan memperhatikan ciri-ciri sebagai berikut :
Ganjanya rata, gulu meled-nya
sempit, sirah cecak-nya lonjong. Kalalu membuat kembang kacang
bentuknya kokoh bagaikan kuku bima, blumbangan-nya dalam, guratan
tikel alis-nya jelas, sogokan-nya panjang, janurnya
meruncing di ujungnya. Kalau Empu Jaka Sura membuat ron da,
bentuknya jelas dan runcing ujungnya.
Bilah keris buatan Empu Jaka Sura
agak tebal, penampilannya meyakinkan. Kalau membuat pamor ruwet (muyeg
- Bhs. Jawa). Secara keseluruhan keris buatan Empu Jaka Sura menampilkan
karakter berwibawa, terampil, gagah, dan meyakinkan.
Kakak Jaka Supa
Jaka Sura sesungguhnya adalah kakak
tiri Empu Jaka Supa, sedangkan ayahnya bernama Supa Mandrangi yang
kemudian dikenal sebagai Pangeran Sedayu. Ia lahir di Blambangan, ibunya
adalah putri bangsawan kerabat Adipati Blambangan.
Ketika menjelang remaja, Jaka Sura
bertanya pada ibunya, siapa dan dimana ayahnya. Si ibu mengatakan, ayah
Jaka Sura adalah seorang empu yang pernah mengabdi pada Kadipaten
Blambangan. Sebelum Jaka Sura lahir, sang Ayah harus kembali ke
Majapahit. Sebelum pergi sang Ayah berpesan, agar jika anak yang lahir
nanti laki-laki, diberi nama Jaka Sura. Dan, kalau anak itu sudah
dewasa, agar pergi menyusulnya ke Majapahit.
Sesudah mendengar penjelasan dari
ibunya, Jaka Sura lalu belajar membuat keris. Ia banyak sekali membuat
keris sajen - yang biasanya dibutuhkan oleh para petani masa itu
untuk sesaji sawahnya. Keris sajen dalam jumlah besar itulah yang
dibawanya sebagai bekal perjalanan ke Majapahit. Agar lebih mudah
membawanya, keris sajen yang ukurannya cuma sejengkal itu
dilubangi pesi-nya, seperti lubang jarum jahit tangan. Pada
lubang itu dimasukkan tali. Cara ini, menurut bahasa Jawa disebut direntengi.
Sepanjang perjalanan dari
Blambangan ke Majapahit, ia banyak bertanya pada petani yang
dijumpainya, manakah arah jalan menuju Majapahit. Sebagai terima kasih
atas bantuannya menunjukkan arah, ia menghadiahkan keris sajen
buatannya pada para petani itu.
Dulu, para petani umumnya percaya,
tuah keris sajen karya Empu Jaka Sura ini berkhasiat untuk
menyuburkan tanaman dan menangkal serangan hama tanaman. Bahkan sampai
sekarang (akhir abad ke-20) sebagian petani di Jawa Tengah dan Jawa
Timur masih mempercayai hal tersebut.
Menjelang sampai di Ibukota
Majapahit, Jaka Sura menghentikan perjalanannya untuk membuat sebilah
pedang. Rencananya pedang itu akan dijadikan buah tangan untuk ayahnya,
agar ayahnya tahu bahwa ia juga mewarisi bakat menjadi empu.
Sesampainya di Majapahit Jaka Sura
ternyata ditolak ketika hendak masuk ke keraton. Penjelasan yang
diberikan oleh empu muda itu tidak dihiraukan oleh para prajurit penjaga
pintu gerbang. Karena kesal Jaka Sura lalu menghantamkan pedang
buatannya pada pintu gerbang itu sehingga pecah berantakan. Keributan
itu menyebabkan Raja Majapahit keluar dan menanyakan apa yang terjadi.
Sesudah mendengar laporan dari
prajurit penjaga dan juga dari Jakasura, raja itu memberi tahu bahwa
ayahnya telah diangkat menjadi Pangeran, dan tinggal di daerah Sedayu.
Setelah mendapat penjelasan itu Jaka Sura lalu mohon diri dan segera
berangkat ke Sedayu. Sang Raja juga menugasi Empu Salahita sebagai
penunjuk jalan.
Pedang yang ditinggalkan Jaka Sura
kemudian dijadikan pusaka Kerajaan Majapahit, dan diberi nama Kanjeng
Kyai Lawang. Kata lawang artinya pintu, karena mengingat bahwa
kesaktian pedang itu telah menghancurkan pintu gerbang Majapahit. Kini,
Kyai Lawang menjadi salah satu pusaka Keraton Kasunanan Surakarta.
Sesampainya di Sedayu, Empu
Salahita langsung membawa Jaka Sura ke besalen (bengkel kerja)
milik Pangeran Sedayu, bukan ke rumahnya, karena mengira sang pangeran
sedang berada di besalen-nya. Waktu itu di besalen itu
para panjak sedang ramai bekerja di bawah pimpinan Empu Ki Jebat, karena
Pangeran Sedayu sedang melakukan tapa brata.
Setelah Jaka Sura diperkenalkan
dengan Ki Jebat, tangan kanan Pangeran Sedayu itu bercerita bahwa sang
pangeran saat itu sedang gundah hatinya. Soalnya, Pangeran Sedayu
mendapat perintah dari raja untuk membuat keris dapur baru yang
akan digunakan sebagai pusaka andalan Majapahit, karena pusaka yang
terdahulu, yaitu Kanjeng Kyai Sumelang Gandring, pernah dicuri oleh
Adipati Blambangan.
Sudah berhari-hari Pangeran Sedayu
melakukan tapa brata, tetapi bentuk dapur keris yang baru itu
belum juga terbayangkan.
Setelah mendengar penjelasan Ki
Jebat, Jaka Sura segera mengeluarkan besi sisa peninggalan ayahnya
ketika di Blambangan dulu. Besi sisa itu lalu dibakarnya di perapen, dan
kemudian ditempanya. Tanpa lelah ia terus bekerja, sehingga akhirnya
jadilah sebuah keris dengan dapur baru yang indah. Semua orang
yang menyaksikan di besalen itu kagum.
Ki Jebat lalu bertanya pada Jaka
Sura, dapur apakah keris yang baru dibuatnya itu. Jaka Sura
mengatakan, tidak tahu karena ia hanya bekerja berdasarkan ilham yang
muncul tiba-tiba saat itu. Setelah menyerahkan keris itu pada Ki Jebat,
Jaka Sura lalu pergi ke kali untuk membersihkan diri.
Sementara itu Pangeran Sedayu
datang ke besalen dengan wajah muram. Ia masih merasa sedih
karena belum juga mendapat ilham mengenai dapur keris yang akan
dibuat. Saat itulah Ki Jebat memperlihatkan keris buatan Jaka Sura.
Betapa gembira hati Pangeran Sedayu
melihat keris yang indah itu. Ia bertambah gembira lagi ketika tahu
bahwa yang membuatnya adalah Jaka Sura, anaknya sendiri, yang lahir
setelah ia meninggalkan Blambangan.
Pangeran Sedayu yakin, Sang Raja
tentu akan berkenan menerima keris indah itu sebagai pusaka keraton.
Karena itu ia segera mengajak anaknya menghadap raja di Keraton
Majapahit.
Benarlah dugaan Pangeran Sedayu.
Raja amat senang dengan keris itu, tetapi juga bingung ketika Pangeran
Sedayu dan Jaka Sura memintakan nama bagi dapur keris baru itu.
Akhirnya, setelah berpikir sejenak, raja menamakan dapur keris
itu: Kanjeng Kyai Sengkelat.
Nama Sengkelat berasal dari kata ‘sengkel’
yang artinya bingung dan kesal karena kehabisan akal. Saat itu raja
Majapahit memang sedang kehabisan akal untuk mencarikan nama dapur
yang merupakan perpaduan antara keris dapur Carita dengan dapur
Parung itu.
Pangeran Sedayu lalu membawanya
menghadap raja, untuk memohon agar Jaka Sura diperkenankan mengabdi pada
kerajaan. Permohonan dikabulkan, dan karena keris-keris hasil karyanya
memuaskan raja, beberapa tahun kemudian Jaka Sura dianugerahi tanah perdikan,
yaitu tanah bebas pajak, di daerah Jenu. Selain itu Jaka Sura juga
diangkat sebagai adipati di daerah itu. Maka, Jaka Sura kemudian lebih
dikenal sebagai Empu Adipati Jenu.
Banyak penggemar keris yang mengira bahwa hasil
karya Empu Jaka Sura hanya berupa keris sajen. Padahal keris sajen
itu hanyalah keris yang dibuat untuk petani guna keperluan sesaji sawah
mereka.
Empu
Ki Jigja
Terkenal
sebagai salah seorang empu pada zaman Kerajaan Majapahit. Ia adalah anak dari
Empu Singkir alias Empu Angga, empu terkenal dari Pajajaran. Adiknya, Ki Empu
Surawisesa juga menjadi empu, tetapi tidak bekerja bagi Kerajaan Majapahit,
melainkan untuk Kadipaten Blambangan. Menurut buku-buku kuno, jari jempol
tangan kirinya berwujud kepala ular.
Keris buatannya tidak banyak, tetapi semuanya merupakan keris indah dan sakti.
Tanda-tanda keris buatan Empu Jigja adalah, panjang bilahnya sedang (menurut ukuran rata-rata keris tangguh Majapahit), tetapi menampilkan kesan kekar, namun luwes. Sogokan dan blumbangan-nya dalam, kembang kacang-nya kokoh. Greneng atau ri pandan keris buatannya jelas dan relatif besar.
Kadang-kadang, kalau membuat kembang kacang Empu Jigja 'berani' keluar dari pakem. Beberapa keris yang menurut pakem memakai kembang kacang biasa, oleh Empu Jigja dibuat kembang kacang pogok. Walaupun demikian, keris yang seperti itu tetap saja manis dan serasi.
Besi keris buatan Empu Jigja ada dua macam. Yang pertama besi itu berkesan kering dan madas. Warna besi itu hijau kecoklatan (serupa tlethong, warna tahi kerbau). Jenis besi ini amat sukar termakan karat. Dan, bilamana diputihkan, dibersihkan sebelum diwarangi, besi keris yang kehijauan itu berbau ramuan rempah wangi jamu.
Sedangkan jenis besi yang kedua yang digunakan Empu Jigja adalah yang berwarna hitam ngelar glatik, Nglugutnglugut, pamornya ngawat ngembang bakung.
Keris buatannya tidak banyak, tetapi semuanya merupakan keris indah dan sakti.
Tanda-tanda keris buatan Empu Jigja adalah, panjang bilahnya sedang (menurut ukuran rata-rata keris tangguh Majapahit), tetapi menampilkan kesan kekar, namun luwes. Sogokan dan blumbangan-nya dalam, kembang kacang-nya kokoh. Greneng atau ri pandan keris buatannya jelas dan relatif besar.
Kadang-kadang, kalau membuat kembang kacang Empu Jigja 'berani' keluar dari pakem. Beberapa keris yang menurut pakem memakai kembang kacang biasa, oleh Empu Jigja dibuat kembang kacang pogok. Walaupun demikian, keris yang seperti itu tetap saja manis dan serasi.
Besi keris buatan Empu Jigja ada dua macam. Yang pertama besi itu berkesan kering dan madas. Warna besi itu hijau kecoklatan (serupa tlethong, warna tahi kerbau). Jenis besi ini amat sukar termakan karat. Dan, bilamana diputihkan, dibersihkan sebelum diwarangi, besi keris yang kehijauan itu berbau ramuan rempah wangi jamu.
Sedangkan jenis besi yang kedua yang digunakan Empu Jigja adalah yang berwarna hitam ngelar glatik, Nglugutnglugut, pamornya ngawat ngembang bakung.
Empu
Modin
Adalah
nama lain dari Empu Bekeljati, adalah seorang empu dari daerah Tuban yang
hidup pada akhir zaman Majapahit.
Keris hasil karyanya berukuran sedang panjangnya, tetapi agak tebal dan lebar. Dibandingkan dengan keris tangguh Tuban lainnya, karya empu Modin lebih tunduk ke depan. Besinya tampak keras dan kenyal, berwarna keabu-abuan, memberi kesan 'mentah'. Pamor yang sering digunakan adalah Wos Wutah dan Ngulit Semangka.
Keris buatan Empu Modin kebanyakan merupakan keris lurus, dengan dapur Tilam Upih atau Brojol. Kalau membuat keris luk, maka luknya kemba. Kesan penampilan keris itu keras dan lugas.
Keris hasil karyanya berukuran sedang panjangnya, tetapi agak tebal dan lebar. Dibandingkan dengan keris tangguh Tuban lainnya, karya empu Modin lebih tunduk ke depan. Besinya tampak keras dan kenyal, berwarna keabu-abuan, memberi kesan 'mentah'. Pamor yang sering digunakan adalah Wos Wutah dan Ngulit Semangka.
Keris buatan Empu Modin kebanyakan merupakan keris lurus, dengan dapur Tilam Upih atau Brojol. Kalau membuat keris luk, maka luknya kemba. Kesan penampilan keris itu keras dan lugas.
Pengikut
Sunan Bonang
Tentang mengapa Empu Bekeljati kemudian lebih populer
dengan sebutan Empu Modin, manuskrip Serat Pratelan Bab Duwung yang ditulis R.
Moestopo Pringgohardjo pada tahun 1961, menyebutkan:
Pada saat Empu Bekeljati berkarya, agama Islam baru mulai berkembang di daerah tempat tinggalnya. Yang menjadi pemimpin mesjid Tuban di kala itu adalah Sunan Bonang, yang bukan hanya dikenal sebagai ulama, juga sebagai orang yang memiliki banyak kesaktian.
Empu Bekeljati yang semula beragama Hindu, kemudian menjadi salah seorang pengikut dan murid Sunan Bonang. Karena ketekunannya mempelajari agama, Empu Bekeljati menjadi kesayangan gurunya. Dan, karena lantang suaranya, dan fasih lafalnya, Sunan Bonang lalu menugasi Empu Bekeljati menjadi mua'zin atau penyeru azan. Dalam logat Jawa, kata mua'zin sering diucapkan mua'din, dan lama kelamaan menjadi modin. Begitulah, sejak saat itu Bekeljati lebih dikenal dengan sebutan Empu Modin.
Bagi mereka yang percaya akan tuah, keris buatan Empu Modin dikenal sebagai keris yang memiliki angsar sabar, pemaaf, membuat pemiliknya menjadi luwes dalam pergaulan dan disayang orang sekelilingnya. Selain itu, keris karya Empu Modin juga bisa diharapkan mempermudah pemiliknya mencari rejeki.
Walaupun dibuat orang yang sama, ketika masih dikenal sebagai Empu Bekeljati, keris buatannya lebih ramping dibandingkan sewaktu ia sudah dikenal dengan panggilan Empu Modin. Selain itu, keris Empu Bekeljati tampilan pamornya lebih mubyar. Jika keris itu memakai luk, maka luknya agak tanggung dan samar (kemba - Jw.). Kembang kacang-nya mungil, agak kecil dibandingkan dengan ukuran bilahnya. Sogokan-nya dangkal dan pendek. Bagian janur-nya dibuat tumpul.
Pada saat Empu Bekeljati berkarya, agama Islam baru mulai berkembang di daerah tempat tinggalnya. Yang menjadi pemimpin mesjid Tuban di kala itu adalah Sunan Bonang, yang bukan hanya dikenal sebagai ulama, juga sebagai orang yang memiliki banyak kesaktian.
Empu Bekeljati yang semula beragama Hindu, kemudian menjadi salah seorang pengikut dan murid Sunan Bonang. Karena ketekunannya mempelajari agama, Empu Bekeljati menjadi kesayangan gurunya. Dan, karena lantang suaranya, dan fasih lafalnya, Sunan Bonang lalu menugasi Empu Bekeljati menjadi mua'zin atau penyeru azan. Dalam logat Jawa, kata mua'zin sering diucapkan mua'din, dan lama kelamaan menjadi modin. Begitulah, sejak saat itu Bekeljati lebih dikenal dengan sebutan Empu Modin.
Bagi mereka yang percaya akan tuah, keris buatan Empu Modin dikenal sebagai keris yang memiliki angsar sabar, pemaaf, membuat pemiliknya menjadi luwes dalam pergaulan dan disayang orang sekelilingnya. Selain itu, keris karya Empu Modin juga bisa diharapkan mempermudah pemiliknya mencari rejeki.
Walaupun dibuat orang yang sama, ketika masih dikenal sebagai Empu Bekeljati, keris buatannya lebih ramping dibandingkan sewaktu ia sudah dikenal dengan panggilan Empu Modin. Selain itu, keris Empu Bekeljati tampilan pamornya lebih mubyar. Jika keris itu memakai luk, maka luknya agak tanggung dan samar (kemba - Jw.). Kembang kacang-nya mungil, agak kecil dibandingkan dengan ukuran bilahnya. Sogokan-nya dangkal dan pendek. Bagian janur-nya dibuat tumpul.
KI
NOM, EMPU, seorang empu yang
terkenal pada zaman Agung Hanyokrokusumo di Mataram. Beberapa orang tua ahli
keris menceritakan bahwa usia Ki Nom memang panjang sekali. Kata mereka, nama
Ki Nom atau Pangeran Warih Anom, atau Ki Supo Anom justru adalah gelar dan
nama pemberian Sultan Agung sebagai pernyataan kekaguman terhadap panjangnya
umur empu yang terkenal awet muda itu.
Konon,
umur Empu Ki Nom lebih dari 100 tahun. Jika cerita-cerita mengenai dirinya
benat, angka 100 itu masuk akal, karena Ki Nom dilahirkan pada menjelang akhir
zaman Majapahit, jadi kira kira tahun 1520 an. Padahal, tatkala Sultan Agung
Anyokrokusumo mempersiapkan penyerangan ke Batavia tahu 1626, Ki Nom masih
mendapat tugas sebagai salah seorang empu tindih, yang membawahkan 80
orang empu lainnya. Berarti pada saat itu umurnya sudah 104 tahun!
Empu
Supo Anom, yang nama kecilnya Jaka Supa sebenarnya adalah anak dari Ki Supa
Mandrangi atau Pangeran Sedayu, yang hidup pada akhir zaman Majapahit. Ibunya
adalah putri kerabat kraton yang ‘dihadiahkan’ kepada Empu Supa Mandrangi
ketika pembuat keris terkenal itu diangkat sebagai pangeran dengan gelar
Pangeran Sedayu. (Ada cerita rakyat yang menyebutkan bahwa putri keraton itu
bernama Dewi Tatiban). Kakaknya, satu ayah lain ibu, bernama Jaka Sura, juga
seorang empu terkenal. Oleh raja Majapahit terakhir Empu Jaka Sura diangkat
menjadi adipati di daerah Jenu, sehingga juga dikenal sebagai Empu Adipati
Jenu.
Ki
Nom sebenarnya hanya singkatan nama atau panggilan bagi Empu Pangeran Warih
Anom yang menguasai tanah perdikan (otonomi & bebas pajak) di
daerah Sendang. Itulah sebabnya ia juga dipanggil dengan gelar Pangeran
Sendang.
Tanda-tanda
utama buatan empu Ki Nom adalah: Keris dan tombak buatan Ki Nom selain indah
selalu mempunyai penampilan dan yang memberi kesan agung, anggun, mewah,
berwibawa.
Ganja
buatan Ki Nom, kebanyakan merupakan ganja wilut dan kelap lintah.
Sirah cecak-nya montok dan meruncing ujungnya, gulu meled-nya
besar dan kokoh. Ukuran panjang bilahnya sedang, lebarnya juga sedang, tetapi
tebalnya lebih dibanding keris buatan Mataram lainnya, terutama dibagian
tengah bilah. Bilah buatan Ki Nom selalu berbentuk nggigir lembu. Motif
pamornya biasanya rumit, halus, dan rapat serta rapi sekali penempatannya.
Besi yang digunakan, dua rupa. Bagian tengah yang bercampur pamor warna
besinya hitam keabu-abuan atau hitam keungu-unguan, tetapi dibagian pinggir
hitam legam.
Bagian
kembang kacang-nya dibuat seperti gelung wayang, tetapi berkesan kokoh,
dan kalau diamati dari sisi atas akan tampak ramping. Jalen-nya kecil, lambe
gajah-nya pendek. Blumbangan-nya dangkal, penuh dengan pamor. Sogokan-nya
juga dangkal dan menyempit ke arah ujung. Janur-nya menyerupai batang
lidi.
Salah
satu keris adikarya hasil tempaan Ki Nom yang masih dapat disaksikan hingga
saat ini adalah keris berdapur Singa Barong yang dijadikan cenderamata
lambang persahabatan antara Kasultanan Mataram dengan Kesultanan Jambi. Keris
itu bernama Si Ginje, dan saat ini tersimpan di Museum Pusat di Jakarta.
Seniman Keris Masa Kini
Seniman Keris Masa Kini
Empu
DJENO HARUMBRODJO (1927 - )
Dari daerah Yogyakarta. dikenal
sebagai seorang empu yang masih teguh mempertahankan kaidah-kaidah
pembuatan keris secara tradisional, termasuk tata upacara, sesaji, dan
tapabratanya. Sering kali ia berpuasa atau tidak tidur sampai
berhari-hari, dalam melaksanakan pembuatan keris-kerisnya. Keindahan
karyanya menyebabkan ia tiga kali mendapat kepercayaan membuat keris
pusaka bagi Keraton Kasultanan Yogyakarta, dengan menggunakan bahan
pamor Prambanan. Atas pesanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, antara lain
Empu Djeno membuat keris dapur Jangkung Mangkunegoro, dengan pamor Udan
Mas. Empu Djeno Harumbrodjo [Jënå Harumbråjå] adalah anak keenam
Kyai Empu Supowinangun, seorang abdidalem empu keris Kepatihan
Yogyakarta. Pendidikannya sampai Schakelschool Kanisius, tahun 1944.
Sejak umur 15 tahun ia sering membantu ayahnya membuat tosan aji,
termasuk keris. Tahun 1970 ia mulai merintis kembali pembuatan keris si
Desa Jitar, yang telah terhenti sejak zaman pendudukan balatentara
Jepang. Dengan menggunakan peralatan peninggalan ayahnya, bersama dua
orang saudaraya, yakni Yosopangarso dan Genyodihardjo, ia melakukan
percobaan-percobaan pembuatan keris. Soalnya, ayah mereka tidak pernah
mengajarkan secara khusus teknik pembuatan keris. Percobaan itu
berhasil! Nama Djeno kemudian dikenal di dunia internasional, setelah
kedatangan Dietrich Drescher, kapten kapal bangsa Jerman yang memesan
keris kepadanya, dan menunggui pembuatannya sampai selesai. Drescher
guru pada empu Djeno. Tahun 1977 Djeno Harumbrodjo pindah ke Desa Gatak,
Kelurahan Sumberagung, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
Letaknya sekitar 10 kilometer ke arah barat, dari kota Yogyakarta. Di
tempatnya yang baru ini ia mendirikan besalen-nya dan membuat sendiri
berbagai rupa peralatan kerjanya. Seperti tradisi yang dianut ayahnya,
empu Djeno selalu mengadakan selamatan dan sesaji pada saat akan
menggarap kerisnya, ketika akan menyepuh, dan mewarangi. Ia pun
berpuasa, serta tidak tidur pada hari-hari tertentu. Bentuk keris
buatannya mengambil pola tangguh Mataraman, tetapi lebih ramping,
singset, dan trengginas, sehingga agak mirip dengan keris tangguh
Majapahit. Ia menguasai berbagai teknik pembuatan pamor, baik pamor
miring, maupun pamor mlumah. Dan, karena apik garapannya, empu Djeno
tidak pernah sepi dari pesanan. Berkali-kali ia mengadakan pameran.
Tahun 1977 pameran di Sumberagung, kemudian di Universitas Gajahmada
tahun 1980. Pameran di Alun-alun Lor Yogyakarta (1981), hampir tiap
tahun sejak 1985 di Keraton Yogyakarta, dan di Institut Teknik Bandung
pada September 1999. Empu Jeno yang tetap membujang hingga tahun 2000
ini, pernah mengadakan ceramah di depan Proyek Javanologi di Museum
Sonobudoyo, Yogyakarta, tahun 1983. Berkat pengabdiannya di bidang seni
budaya keris, ia mendapat Anugerah Seni dari Pemda DI Yogyakarta tahun
1985 dan beberapa penghargaan lainnya. Di kalangan penggemar keris, Empu
Djeno mendapat penghargaan tinggi, bukan hanya karena keris-keris
buatannya indah, juga karena keturunan Empu Supa Anom itu masih tetap
mau menempa dengan cara dan tata upacara tradisional.
EMPU
PAUZAN PUSPOSUKADGO
Dari daerah Surakarta masih aktif membuat keris pada akhir adab ke-20. Selain membuat keris, tombak, dan tosan aji lainnya, pada dekade 1980-an Empu Pauzan juga menjadi dosen luar biasa dalam bidang pembuatan keris di Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta, yang kini menjadi Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta. Empu Pauzan lahir di Desa Grinting, Boyolali, Jawa Tengah pada 1941. Pendidikannya hanya sampai kelas II Sekolah Teknik Negeri jurusan Bangnan. Setelah ini selama bertahun-tahun ia menjadi montir dan kemudian menjadi sopir bis malam. Perhatiannya terhadap dunia perkerisan mulai timbul sejak tahun 1971. Ia menjadi anggota Boworoso Tosan Aji Surakarta, dan banyak mendapat bimbingan dari K.R.T. Hardjonagoro, seorang budayawan kolektor keris di Surakarta. Tahun 1982 ia mulai belajar membuat keris sendiri, dengan membuat besalen di halaman rumahnya. Dengan modal tekad dan rajin bertanya, keris buatannya makin lama makin baik. Dari Keraton Kasunanan Surakarta empu Pauzan mendapat pangkat Mantri Anon-anon Tosan Aji, dengan sebutan Mas Ngabehi Pusposukadgo. Sekitar tahun 1984 Empu Pauzan membuat pamor kreasi baru yang berdasarkan rekayasa Dietrich Dresser. Pamor itu dinamakan Poleng Wengkon. Pauzan menerapkannya pada sebuah keris berdapur Gumbeng. Oleh Jenderal Purnawirawan Soerono keris dapur Gumbeng berpamor Poleng Wengkon itu diberi nama Kyai Surengkarya, yang artinye pekerja keras atau pekerja tekun. Keris-keris dan tosan aji karya Pauzan pernah dipamerkan di ASKI (1983), Sasana Mulya Surakarta (1984), Monumen Pers Surakarta (1985) dan Pusat Keris Jakarta serta Anjungan Jawa Tengah Taman Mini Inidonesia Indah (1986). Empu Pauzan yang beralamat di Kampung Yosoroto RT 01 RW 09 bo 82, ini memiliki beberapa tanda penghargaan, antara lain dari Menko Bidang Politik dan Keamanan Jenderal Soerono (1981), dan Seminar PATA. Sejak tahun 1982 ia menjabat sebagai anggota Presidium Pangreh Boworoso Tosan Aji Surakarta. Sebagai dosen ASKI, murid-muridnya yang menonjol antara lain Yantono, Subandi, dan Suyanto.
Dari daerah Surakarta masih aktif membuat keris pada akhir adab ke-20. Selain membuat keris, tombak, dan tosan aji lainnya, pada dekade 1980-an Empu Pauzan juga menjadi dosen luar biasa dalam bidang pembuatan keris di Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta, yang kini menjadi Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta. Empu Pauzan lahir di Desa Grinting, Boyolali, Jawa Tengah pada 1941. Pendidikannya hanya sampai kelas II Sekolah Teknik Negeri jurusan Bangnan. Setelah ini selama bertahun-tahun ia menjadi montir dan kemudian menjadi sopir bis malam. Perhatiannya terhadap dunia perkerisan mulai timbul sejak tahun 1971. Ia menjadi anggota Boworoso Tosan Aji Surakarta, dan banyak mendapat bimbingan dari K.R.T. Hardjonagoro, seorang budayawan kolektor keris di Surakarta. Tahun 1982 ia mulai belajar membuat keris sendiri, dengan membuat besalen di halaman rumahnya. Dengan modal tekad dan rajin bertanya, keris buatannya makin lama makin baik. Dari Keraton Kasunanan Surakarta empu Pauzan mendapat pangkat Mantri Anon-anon Tosan Aji, dengan sebutan Mas Ngabehi Pusposukadgo. Sekitar tahun 1984 Empu Pauzan membuat pamor kreasi baru yang berdasarkan rekayasa Dietrich Dresser. Pamor itu dinamakan Poleng Wengkon. Pauzan menerapkannya pada sebuah keris berdapur Gumbeng. Oleh Jenderal Purnawirawan Soerono keris dapur Gumbeng berpamor Poleng Wengkon itu diberi nama Kyai Surengkarya, yang artinye pekerja keras atau pekerja tekun. Keris-keris dan tosan aji karya Pauzan pernah dipamerkan di ASKI (1983), Sasana Mulya Surakarta (1984), Monumen Pers Surakarta (1985) dan Pusat Keris Jakarta serta Anjungan Jawa Tengah Taman Mini Inidonesia Indah (1986). Empu Pauzan yang beralamat di Kampung Yosoroto RT 01 RW 09 bo 82, ini memiliki beberapa tanda penghargaan, antara lain dari Menko Bidang Politik dan Keamanan Jenderal Soerono (1981), dan Seminar PATA. Sejak tahun 1982 ia menjabat sebagai anggota Presidium Pangreh Boworoso Tosan Aji Surakarta. Sebagai dosen ASKI, murid-muridnya yang menonjol antara lain Yantono, Subandi, dan Suyanto.
Diambil dari
(c) M M I I, Java Keris.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar